1. Aku

Namaku Tania Arianti. Tepat hari ini aku berusia tiga puluh tiga tahun. Angka kembar.

Tidak, tidak ada pesta. Walau pagi masih buta, aku tahu, seharian nanti takkan ada pesta. Suamiku masih tertidur dengan lelapnya. Kalaupun ia terjaga, aku tak tahu ia akan mengucapkan selamat atau tidak karena aku tidak yakin ia ingat hari kelahiranku.

Namanya Arfan Adjie. Usianya tiga puluh lima tahun. Ia bekerja sebagai guru di sebuah bimbingan belajar di dekat rumah kami.

Kami memiliki seorang anak. Amsyar Bahri. Artinya, kecerdasan yang gemilang. Dan, anak itu memang sungguh cerdas. Ia selalu dapat membaca isi hatiku. Saat aku sedih, gembira, marah, ia selalu tahu. Padahal, ia baru berusia enam tahun.

"Mama jangan sedih lagi dong. Am jadi ikut sedih nih."

Ah, Am. Mama juga inginnya begitu. Tapi, Papa selalu membuat Mama sedih.

Ingin rasanya aku mengadukan segala halku kepada Am. Tapi, sungguh tidak adil. Ia harus menjadi anak yang ceria, bahagia. Ia tak boleh menjadi anak yang murung hanya karena aku, Mamanya, tidak bahagia dengan perkawinanku.

Entah mengapa aku bisa tak sebahagia itu. Padahal, Arfan adalah pria pilihanku...

2. 20 Tahun yang Lalu

"Halo, pendengar Jakarta...sudah saatnya kita masuk ke acara kuis Ramadhan. Sudah pada sahur kan? Harus bisa jawab ya!"

Wah, kuis! Langsung kuangkat gagang telepon dan kuhubungi nomor telepon yang diberikan sang penyiar tadi.

"Siapa nama Ibu Susu Rasulallah SAW? A. Halimah, B. Khadijah, C. Aisyah."

Gampang!

"Ya, halo...siapa di ujung sana?"

Hah! Teleponku masuk!

"Tania..."

"Hai, Tania. Di mana? Telepon kamu berapa?"

"Di Jakarta Barat. 525516"

Hm...kok teleponku on-air ya?

"Sip. Jawabannya apa?"

"A. Halimah."

"Alhamdulillah. Betul! Selamat ya. Kamu bisa ambil hadiahnya seminggu lagi di kantor ya. Telepon dulu ke Ari di 663215. Assalamu'alaikum."

"Wa'alaikum salam."

Wah... dapat hadiah! Siapa yang ambil ya? Aku pasti tidak boleh jalan sendiri ke kantor radio itu. Oh ya, minta tolong Oom-ku saja deh.

Selepas Shalat Subuh, aku tidur sejenak agar nanti di sekolah lebih segar dan tidak mengantuk.

Aku terbangun jam tujuh pagi saat Ibu memanggilku, "Ada telepon, Nia..."

Siapa menelepon pagi-pagi begini?

"Ya, halo..."

"Halo...ini Tania?"

"Iya. Ini siapa ya?"

"Kenalkan. Namaku Adi."

"Adi mana?"

"Kamu memang nggak kenal aku. Hm...tadi pagi kamu ikut kuis di radio kan? Aku catat no telepon kamu. Soalnya, suaramu bagus."

"Waduh..."

"Hm...kamu keberatan ya? Maaf kalau gitu."

"Eh..."

"Ya?"

"Hm...nggak keberatan sih. Bisa nambah teman juga kan?"

"Bener nih?"

"Iya."

"Ok, kalau begitu, nanti siang aku telepon lagi ya. Aku mau sekolah dulu. Kamu juga kan?"

"Iya dong."

Dan, siang itu, Adi menepati janjinya. Ia menelepon. Kami mengobrol banyak. Lucunya, kami seakan sudah kenal lama. Tak ada kecanggungan, tak ada rahasia.

Setelah hampir setengah jam mengobrol, Adi menyudahi pembicaraan kami, "Tan, aku telepon lagi besok boleh?"

"Boleh..."

"Tapi, sore ya? Nggak apa kan?"

"Jam berapa?"

"Jam setengah lima, sebelum siap-siap buka puasa. Bisa?"

"Bisa. Aku tunggu ya."

Aku pun menanti tibanya esok dengan tak sabar. Sementara itu, aku mengingat-ingat lagi semua cerita Adi. Ia tinggal di sekitar Bekasi. Umurnya sudah tujuh belas--beda empat tahun denganku--dan ia sudah duduk di kelas tiga SMA. Ia anak pertama dengan dua orang adik perempuan.

Dan, suaranya enak didengar! Di samping itu, ia lucu sekali. Aku dibuatnya tertawa beberapa kali. Ibu sampai duduk di dekatku dan bertanya tanpa suara, "Siapa?"

"Teman," jawabku.

Lalu, Ibu meninggalkanku lagi dengan telepon sambil menggeleng-geleng.

Anehnya, setelah menerima telepon dari Adi, aku tak henti-hentinya tersenyum. Aku merasa bahagia sekali.

Malam hari, seperti biasa, aku menulis diary. Biasanya, yang kutulis adalah apa-apa saja yang kualami di rumah atau di sekolah. Tapi, hari ini berbeda. Aku hanya menulis satu kata setelah Dear Diary, ADI. Nama itu kuhias dengan warna-warni dan bebungaan. Adi. Hmmm...

Malam itu, aku pun terlelap dalam senyum.

3. Adi dan Cinta

Semenjak perkenalanku dengan Adi, sore hariku diisi dengan menunggu di dekat telepon. Dan, setiap jam setengah lima, pasti teleponku berbunyi.

Kami mengobrol dan tertawa, begitu terus. Adi menceritakan tentang teman-temannya, Ugi--yang satu ini sering menemaninya meneleponku, bahkan kami pernah berbincang sebentar--, Kiki--yang kurus kering namun digila-gilai wanita--, Endang--yang semestinya menggunakan e pepet (e lemah) tapi sering kupelesetkan menjadi e taling sehingga terdengar seperti nama perempuan--, dan banyak lagi.

Sementara, aku lebih banyak mendengar. Kata sahabatku, Rini, aku memang seorang pendengar yang baik. Telingaku mampu menampung banyak hal tanpa perlu kumuntahkan lagi dari mulutku.

Aku sudah menceritakan tentang Adi kepada Rini. Mau tau reaksinya?

"Hati-hati!"

Rini memang begitu. Ia selalu berhati-hati dalam segala hal. Ia tak pernah bertindak secara spontan. Segalanya harus diperhitungkan. Aku agak menyesal menceritakan 'kesenangan'-ku ini karena di matanya, justru kedekatanku dengan Adi menjadi sebuah ancaman.

"Bagaimana kalau dia bohong? Dia penjahat?"

"Dia nggak bohong, Rin!"

"Tahu dari mana? Kalian kan belum pernah bertemu!"

"Dia orang baik. Titik."

"Susah ngomong sama orang yang lagi jatuh cinta!"

Jatuh cinta? Haha! Jatuh cinta? Maksudnya? Aku jatuh cinta kepada Adi? Tapi...

Jatuh cinta...

Aku?

Hm...apa boleh seorang anak perempuan berusia 13 tahun jatuh cinta? Kata Ibu, jatuh cinta itu untuk orang yang berusia lebih dari 17 tahun!

4. Wishing on The Same Star

Sudah tiga bulan aku 'berteman' dengan Adi. Terkadang aku yang menelepon, terkadang Adi. Siapa saja yang sempat. Tak ada janji, tak ada komitmen. Yang kami tahu, kami saling membutuhkan.

Belum, kami belum juga bertemu. Aku belum siap. Selain itu, Rini selalu menakut-nakutiku tentang kemungkinan Adi akan menjahatiku. Berkali-kali sudah kukatakan bahwa aku yakin ia bukan orang jahat. Tapi, Rini berkata, "Jangan sampai menyesal ya."

Rini, sahabatku, selalu tahu titik lemahku. Aku tidak suka menyesal. Meski sering bertindak spontan, aku selalu berusaha sekuat mungkin untuk tidak bertindak bodoh.

"Jadi, kapan kita bisa ketemu?" tanya Adi pada suatu sore, di telepon.

"Belum tahu. Aku masih banyak PR."

"Sebentar aja. Aku ke rumahmu deh."

Ini yang lebih berbahaya. Aku tak mungkin membiarkan Adi datang ke rumah. Bapak bisa mengamuk dan Ibu bisa mengomel sepanjang minggu. Mereka terlalu overprotective.

"Nantilah suatu hari. Aku kabari ya kapan kita bisa ketemu."

"Mudah-mudahan aku nggak bosan ya nunggu 'suatu hari' itu tiba."

Duh, ada nada ancaman. Paling tidak, aku terancam. Bagaimana jika Adi tak mau lagi 'berteman' denganku hanya karena aku belum juga siap bertemu.

"Bulan depan aku sudah ke Bandung loh, Tan."

"Jadi ya persiapan UMPTN di sana?"

"He-emh."

"Hmmm..."

"Gini aja. Boleh aku minta alamat rumahmu? Nanti, kalau di Bandung kan aku nggak bisa sering-sering telepon. Kamu juga. Mahal. Kita surat-suratan aja. Ya?"

"Iya deh. Catat ya..."

Semenjak saat itu, Adi mengetahui alamat rumahku.

"Tapi janji ya, jangan pernah datang sebelum ada lampu hijau dari aku."

"Ok..."

Aku percaya Adi takkan menyalahi janjinya hingga suatu malam, jam delapan, ada telepon untukku.

"Kak Nia, ada telepon..." teriak adikku, Sarah.

"Dari siapa?" tanyaku.

Sarah mengangkat bahu.

"Halo..."

"Hai, Tan. Lagi apa?"

"Ya ampun, Adi. Kirain siapa. Lagi belajar."

"Yang rajin ya. Hm...mudah-mudahan aku nggak ganggu kamu ya."

"Nggak kok. Kamu lagi di mana?"

"Wah kok pas banget pertanyaanmu."

"Memang kenapa?"

"Aku lagi di depan gang rumahmu, di telepon umum."

"Hah?!"

"Kamu marah ya? Aku cuma mau ketemu sebentar. Sebentaaar aja, sebelum aku berangkat ke Bandung."

"Tapi, kan aku sudah bilang..."

"Iya sih. Tapi, besok aku berangkat, Tan."

"Tapi, aku nggak bisa keluar rumah malam-malam begini."

"Sebentar?"

Kulihat Ibu dan Bapak sedang asyik menonton TV. Mungkin aku bisa bilang mau ke warung. Tapi, mereka tahu, aku paling tidak suka ke warung malam-malam begini. Biasanya aku minta tolong Mbak Tun.

"Nggak mungkin, Di."

"Tapi, aku sudah jauh-jauh ke sini."

"Kamu sih. Kenapa sebelum berangkat nggak telepon dulu?"

"Kejutan."

"Dan, sekarang aku benar-benar terkejut."

"Jadi?"

"Aku nggak bisa."

"Ya sudah. Aku sekarang lewat rumahmu. Kamu berdiri di teras atau di mana, supaya paling nggak aku bisa melihatmu."

"Tapi..."

"Please...aku pakai jaket biru. Kamu pakai T-Shirt putih kan, seperti kebiasaanmu? Pagar rumahmu hijau kan?"

"Ya...aku..."

Klik. Telepon ditutup olehnya.

Wajahku memerah. Aku harus memenuhi permintaan Adi. Aku akan jadi teman yang sangat jahat jika tidak. Dan, aku akan menyesal!

Maka, aku pun keluar rumah, duduk di teras.

Belum sampai dua menit, ada seorang pria lewat di depan rumahku. Pria berjaket biru. Itu Adi! Aku beranjak dari duduk.

"Tania!"

Oh, Bapak memanggil...

Pria itu menengok, mata kami bertemu.

"Tania!"

Aku segera masuk ke dalam rumah, mengunci pintu, mengintip sejenak dari jendela. Pria itu masih menengok ke arah rumahku.

"Nia, ngapain di situ? Bapak manggil." Tiba-tiba Ibu sudah berdiri di sebelahku, ikut mengintip dari jendela.

"Oh...nggak, Bu. Bapak mau apa?"

"Nggak tahu...urusan komputer."

Aku pun masuk ke ruang kerja Bapak. Di sana, Bapak sedang asyik menatap komputernya.

"Nia, Bapak ada game baru nih!"

Aduh, Bapak. Hanya karena game baru, aku harus kehilangan kesempatan melihat Adi lebih lama. Bbapak memang penggila game komputer, aku juga. Setiap ada game baru, Bapak selalu memberitahuku. Sarah tidak begitu tertarik pada game ataupun komputer.

Kriiing.

"Nia, telepon!" panggil Ibu.

"Sebentar ya, Pak."

"Siapa sih, Adi?" tanya Ibu.

"Teman...teman sekolah, Bu."

"Ya, Di. Mau tanya PR ya?"

"Tan, kamu manis. Tadi aku sudah lihat walau samar-samar. Lampu terasmu redup banget. Terima kasih ya, kamu mau keluar rumah. Paling nggak aku bisa tenang pergi ke Bandung besok. Hm...tadi aku lihat satu bintang yang terang banget. Sebelum menelepon kami tadi, aku berharap melalui bintang itu supaya aku bisa lihat kamu. Dan, terpenuhi."

"I...iya," ujarku singkat, Ibu masih di dekatku.

"Kamu tahu lagu 'Wishing on the Same Star'-nya Keedy? Dengerin ya. It was exactly how I felt. Ok...daa..."

"Daa..."

Perasaanku campur aduk. Senang sudah melihat Adi, sedih karena hanya bisa melihat, takut Ibu bertanya lebih banyak.

"Nia..." panggil Ibu. "Siapa Adi?"

"Teman sekolah, Bu. Tanya PR."

"Oh..."

Syukurlah Ibu tak bertanya lebih jauh. Aku membuka pintu depan, memandang langit. Ya, ada sebuah bintang terang di sana. Kututup mata dan berharap. Semoga aku dapat bertemu lagi dengan Adi.

"Nia!" panggil Ibu lagi. "Sedang apa di luar?"

"Mau kunci pintu, Bu!"

5. Surat Cinta

Sudah lima hari Adi di Bandung. Aku belum juga mendapat kabar. Rasanya ada yang hilang. Tak ada telepon, tak ada surat. Aku hanya dapat menunggu dan menunggu.

Di radio, tiba-tiba terdengar lagu Vina Panduwinata, Surat Cinta. Tepat di saat yang sama, kudengar suara memanggil di luar, "Pos!"

Surat! Surat cinta kah?

Segera kuberlari ke arah pagar.

"Surat dari Bandung. Tercatat."

Mendengarnya wajahku memerah, terasa hangat, agak panas bahkan.

"Terima kasih, Pak."

"Dari siapa, Nia?" tanya Ibu yang tiba-tiba muncul di depan pintu.

"Sahabat penaku, Bu."

"Oh..."

Ibu tahu, aku memiliki banyak sahabat pena, dari dalam dan luar negeri, semenjak aku SD. Jadi, mendapatkan surat bukan hal yang aneh baginya.

Di kamar, kubaca nama yang tertera pada bagian belakang amplop. Firnadevi Kusuma, Bandung. Segera kubuka amplop dan menarik kertas yang seluruhnya berjumlah tiga halaman.

Dear Tania,

Aku sampai di Bandung dua hari yang lalu. Tapi, aku baru sempat menulis malam ini. Kemarin aku mendaftar di Bimbingan Tes.

Apa kabar? Mudah-mudahan kamu baik-baik saja ya. Maaf aku nggak bisa telepon. Uangku nggak cukup. Tapi, aku janji, aku akan sering mengirim surat.

Tempat kosku ini nggak enak. Sekamar bertiga dengan Ugi dan Kiki. Itok dan Endang terpaksa sekamar dengan Roy. Ingat kan, Roy? Anak kelas sebelah yang nyebelin...

...

Aku tertawa-tawa membaca surat itu. Isinya menceritakan tentang keseharian Adi sebagai anak kos, tentang teman-temannya. Tentang Itok yang kesal harus menahan lapar agar uang sangu dari orang tuanya cukup. Tentang Kiki yang sering masuk angin karena terlalu percaya diri tak mengenakan pakaian di malam hari di kota Bandung yang dingin. Tentang Ugi yang kangen Mamanya.

Malam itu juga, langsung kubalas surat dari Adi. Tak sepanjang suratnya, karena aku tak punya cerita semenarik cerita-ceritanya. Tapi di baris terakhir, kutulis, "Miss you..."

Aku harus menunggu sekitar dua minggu untuk mendapat surat balasan dari Adi.

Dear Tania,

Surat cintamu sudah kuterima...

...

Surat cinta?! Maksudnya apa? Duh, aku jadi malu sekali. Kenapa dia bisa bilang itu surat cinta? Karena kata-kata di baris terakhir itu kah?

Tapi, ia juga menuliskan hal yang sama di baris terakhir, bahkan lebih 'parah.'

I miss you, too, dear. So much.

Jantungku berdetak kencang. Sangat kencang.