3. Adi dan Cinta

Semenjak perkenalanku dengan Adi, sore hariku diisi dengan menunggu di dekat telepon. Dan, setiap jam setengah lima, pasti teleponku berbunyi.

Kami mengobrol dan tertawa, begitu terus. Adi menceritakan tentang teman-temannya, Ugi--yang satu ini sering menemaninya meneleponku, bahkan kami pernah berbincang sebentar--, Kiki--yang kurus kering namun digila-gilai wanita--, Endang--yang semestinya menggunakan e pepet (e lemah) tapi sering kupelesetkan menjadi e taling sehingga terdengar seperti nama perempuan--, dan banyak lagi.

Sementara, aku lebih banyak mendengar. Kata sahabatku, Rini, aku memang seorang pendengar yang baik. Telingaku mampu menampung banyak hal tanpa perlu kumuntahkan lagi dari mulutku.

Aku sudah menceritakan tentang Adi kepada Rini. Mau tau reaksinya?

"Hati-hati!"

Rini memang begitu. Ia selalu berhati-hati dalam segala hal. Ia tak pernah bertindak secara spontan. Segalanya harus diperhitungkan. Aku agak menyesal menceritakan 'kesenangan'-ku ini karena di matanya, justru kedekatanku dengan Adi menjadi sebuah ancaman.

"Bagaimana kalau dia bohong? Dia penjahat?"

"Dia nggak bohong, Rin!"

"Tahu dari mana? Kalian kan belum pernah bertemu!"

"Dia orang baik. Titik."

"Susah ngomong sama orang yang lagi jatuh cinta!"

Jatuh cinta? Haha! Jatuh cinta? Maksudnya? Aku jatuh cinta kepada Adi? Tapi...

Jatuh cinta...

Aku?

Hm...apa boleh seorang anak perempuan berusia 13 tahun jatuh cinta? Kata Ibu, jatuh cinta itu untuk orang yang berusia lebih dari 17 tahun!

0 komentar: