6. Love, Tania

Ketika kutunjukkan surat itu kepada Rini, ia menganga lebar sekali.

"Ya ampun, Tan. Ini namanya cari gara-gara. Kalau Ibu sampai tahu gimana?"

"Ngamuk...hehehe..."

"Ih, kayak berani aja ngadepin amukan Ibu."

"Itulah...makanya...titip ya surat-surat ini. Kalau di rumah, bisa-bisa dibaca Ibu."

Rini memang sahabat yang baik. Walau dengan sedikit mengomel, ia sudi juga menyimpankan surat-suratku di rumahnya. Mamanya bekerja, jadi kecil kemungkinan terbaca oleh beliau. Berbeda dengan Ibu yang memang orang rumahan, Ibu rajin sekali bersih-bersih. Kamarku, kamar Sarah, semua tak pernah lepas dari jamahan tangan Ibu.

Aku rasa, aku masih shock dengan surat terakhir Adi. Aku belum juga membalasnya hingga seminggu telah berlalu. Aku tak tahu harus berkata apa lagi.

Di satu sisi, aku merasa senang, tapi di sisi lain, aku takut. Entah apa yang kutakutkan. Hanya, aku amat takut.

Lalu, dua minggu berlalu. Lalu, tiga minggu...dan...

"Halo, bisa bicara dengan Tania?"

Suara itu!

"Ya...hm...Adi ya?" tanyaku lirih.

"Iya...Tan? Kamu? Duh, aku kangen banget. Surat kamu belum sampai juga. Kapan kamu kirim?"

"Belum...aku...hm...belum sempat ke kantor pos."

"Loh, kata kamu, di dekat sekolah ada kotak pos."

"Itu...dibongkar minggu lalu. Dipindah. Nggak tahu ke mana."

"Tan...kamu kenapa?"

"Kenapa?"

"Iya, berubah. Hm...gara-gara suratku ya?"

"Bukan...bener deh."

"Ya udah...uangku cuma sedikit. Aku cuma khawatir...kok suratmu belum sampai juga. Takut kamu sakit atau apa. Take care ya. Belajar yang rajin."

"Ok...kamu juga ya, Di."

Klik.

Ah, Adi. Senang sekali aku bisa mendengar suaramu lagi. Tapi, tadi kamu tidak seperti biasanya. Ada kecewa dalam kata-katamu. Tapi, aku harus bagaimana? Aku merasakan sesuatu yang aneh. Sangat aneh.

"Rin, kemarin malam dia telepon."

"Adi?"

"He-emh."

"Terus?"

"Ya, udah. Cuma mau kasih tahu aja."

"Iya, tau deh...yang lagi jatuh cinta."

"Ih, enggak kok. Adi itu cuma sahabat."

"Emangnya nggak bisa jatuh cinta sama sahabat?"

"Lagian dia jauh lebih tua."

"Emangnya nggak bisa jatuh cinta sama yang lebih tua?"

"Ih kok gitu sih..."

"Psst...cinta itu buta!"

"Rini gemblung..."

Dan, memang, semakin kupungkiri, semakin aku menyadari...bahwa ya, aku jatuh cinta.

Aku memang masih kecil. Kata Ibu, anak kecil tidak bisa jatuh cinta. Dulu, aku selalu memercayai kata-kata Ibu. Tapi, kali ini, rasanya sulit. Karena, aku memang sedang jatuh cinta. Apalagi namanya jika bukan jatuh cinta?

"Halo..." terdengar suara di ujung sana.

"Ya, halo..."

"Bisa bicara dengan Tania?"

"Adi ya?"

"Iya. Kamu lagi sibuk?"

"Nggak."

"Doain aku ya. Besok ada Try Out. Udah ya...daaa..."

"Di!"

"Tan, uangku habis. Nanti aku telepon lagi ya!"

Klik.

Semakin yakin, aku memang jatuh cinta. Hanya mendengar suaranya, aku merasa amat senang. Seakan terbang ke awan, seakan hidup ini begitu indahnya.

Maka, kuputuskan untuk menulis surat untuknya. Berlembar-lembar, seakan tanganku tak dapat berhenti. Lagi dan lagi. Dan, kata terakhirku adalah: "Love, Tania."

1 komentar:

  1. bagus banget ceritanya...
    blogmu aku link dari blogku lo..
    teruslah menulis, go..

    regards,
    Shanti
    http://shanti.blogdetik.com