4. Wishing on The Same Star

Sudah tiga bulan aku 'berteman' dengan Adi. Terkadang aku yang menelepon, terkadang Adi. Siapa saja yang sempat. Tak ada janji, tak ada komitmen. Yang kami tahu, kami saling membutuhkan.

Belum, kami belum juga bertemu. Aku belum siap. Selain itu, Rini selalu menakut-nakutiku tentang kemungkinan Adi akan menjahatiku. Berkali-kali sudah kukatakan bahwa aku yakin ia bukan orang jahat. Tapi, Rini berkata, "Jangan sampai menyesal ya."

Rini, sahabatku, selalu tahu titik lemahku. Aku tidak suka menyesal. Meski sering bertindak spontan, aku selalu berusaha sekuat mungkin untuk tidak bertindak bodoh.

"Jadi, kapan kita bisa ketemu?" tanya Adi pada suatu sore, di telepon.

"Belum tahu. Aku masih banyak PR."

"Sebentar aja. Aku ke rumahmu deh."

Ini yang lebih berbahaya. Aku tak mungkin membiarkan Adi datang ke rumah. Bapak bisa mengamuk dan Ibu bisa mengomel sepanjang minggu. Mereka terlalu overprotective.

"Nantilah suatu hari. Aku kabari ya kapan kita bisa ketemu."

"Mudah-mudahan aku nggak bosan ya nunggu 'suatu hari' itu tiba."

Duh, ada nada ancaman. Paling tidak, aku terancam. Bagaimana jika Adi tak mau lagi 'berteman' denganku hanya karena aku belum juga siap bertemu.

"Bulan depan aku sudah ke Bandung loh, Tan."

"Jadi ya persiapan UMPTN di sana?"

"He-emh."

"Hmmm..."

"Gini aja. Boleh aku minta alamat rumahmu? Nanti, kalau di Bandung kan aku nggak bisa sering-sering telepon. Kamu juga. Mahal. Kita surat-suratan aja. Ya?"

"Iya deh. Catat ya..."

Semenjak saat itu, Adi mengetahui alamat rumahku.

"Tapi janji ya, jangan pernah datang sebelum ada lampu hijau dari aku."

"Ok..."

Aku percaya Adi takkan menyalahi janjinya hingga suatu malam, jam delapan, ada telepon untukku.

"Kak Nia, ada telepon..." teriak adikku, Sarah.

"Dari siapa?" tanyaku.

Sarah mengangkat bahu.

"Halo..."

"Hai, Tan. Lagi apa?"

"Ya ampun, Adi. Kirain siapa. Lagi belajar."

"Yang rajin ya. Hm...mudah-mudahan aku nggak ganggu kamu ya."

"Nggak kok. Kamu lagi di mana?"

"Wah kok pas banget pertanyaanmu."

"Memang kenapa?"

"Aku lagi di depan gang rumahmu, di telepon umum."

"Hah?!"

"Kamu marah ya? Aku cuma mau ketemu sebentar. Sebentaaar aja, sebelum aku berangkat ke Bandung."

"Tapi, kan aku sudah bilang..."

"Iya sih. Tapi, besok aku berangkat, Tan."

"Tapi, aku nggak bisa keluar rumah malam-malam begini."

"Sebentar?"

Kulihat Ibu dan Bapak sedang asyik menonton TV. Mungkin aku bisa bilang mau ke warung. Tapi, mereka tahu, aku paling tidak suka ke warung malam-malam begini. Biasanya aku minta tolong Mbak Tun.

"Nggak mungkin, Di."

"Tapi, aku sudah jauh-jauh ke sini."

"Kamu sih. Kenapa sebelum berangkat nggak telepon dulu?"

"Kejutan."

"Dan, sekarang aku benar-benar terkejut."

"Jadi?"

"Aku nggak bisa."

"Ya sudah. Aku sekarang lewat rumahmu. Kamu berdiri di teras atau di mana, supaya paling nggak aku bisa melihatmu."

"Tapi..."

"Please...aku pakai jaket biru. Kamu pakai T-Shirt putih kan, seperti kebiasaanmu? Pagar rumahmu hijau kan?"

"Ya...aku..."

Klik. Telepon ditutup olehnya.

Wajahku memerah. Aku harus memenuhi permintaan Adi. Aku akan jadi teman yang sangat jahat jika tidak. Dan, aku akan menyesal!

Maka, aku pun keluar rumah, duduk di teras.

Belum sampai dua menit, ada seorang pria lewat di depan rumahku. Pria berjaket biru. Itu Adi! Aku beranjak dari duduk.

"Tania!"

Oh, Bapak memanggil...

Pria itu menengok, mata kami bertemu.

"Tania!"

Aku segera masuk ke dalam rumah, mengunci pintu, mengintip sejenak dari jendela. Pria itu masih menengok ke arah rumahku.

"Nia, ngapain di situ? Bapak manggil." Tiba-tiba Ibu sudah berdiri di sebelahku, ikut mengintip dari jendela.

"Oh...nggak, Bu. Bapak mau apa?"

"Nggak tahu...urusan komputer."

Aku pun masuk ke ruang kerja Bapak. Di sana, Bapak sedang asyik menatap komputernya.

"Nia, Bapak ada game baru nih!"

Aduh, Bapak. Hanya karena game baru, aku harus kehilangan kesempatan melihat Adi lebih lama. Bbapak memang penggila game komputer, aku juga. Setiap ada game baru, Bapak selalu memberitahuku. Sarah tidak begitu tertarik pada game ataupun komputer.

Kriiing.

"Nia, telepon!" panggil Ibu.

"Sebentar ya, Pak."

"Siapa sih, Adi?" tanya Ibu.

"Teman...teman sekolah, Bu."

"Ya, Di. Mau tanya PR ya?"

"Tan, kamu manis. Tadi aku sudah lihat walau samar-samar. Lampu terasmu redup banget. Terima kasih ya, kamu mau keluar rumah. Paling nggak aku bisa tenang pergi ke Bandung besok. Hm...tadi aku lihat satu bintang yang terang banget. Sebelum menelepon kami tadi, aku berharap melalui bintang itu supaya aku bisa lihat kamu. Dan, terpenuhi."

"I...iya," ujarku singkat, Ibu masih di dekatku.

"Kamu tahu lagu 'Wishing on the Same Star'-nya Keedy? Dengerin ya. It was exactly how I felt. Ok...daa..."

"Daa..."

Perasaanku campur aduk. Senang sudah melihat Adi, sedih karena hanya bisa melihat, takut Ibu bertanya lebih banyak.

"Nia..." panggil Ibu. "Siapa Adi?"

"Teman sekolah, Bu. Tanya PR."

"Oh..."

Syukurlah Ibu tak bertanya lebih jauh. Aku membuka pintu depan, memandang langit. Ya, ada sebuah bintang terang di sana. Kututup mata dan berharap. Semoga aku dapat bertemu lagi dengan Adi.

"Nia!" panggil Ibu lagi. "Sedang apa di luar?"

"Mau kunci pintu, Bu!"

0 komentar: